Kontroversi Kode Etik Kedokteran: Peran IDI sebagai Penentu
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki peran sentral dalam menentukan dan menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI adalah pedoman moral dan profesional yang harus ditaati oleh setiap dokter di Indonesia. Meskipun demikian, peran IDI dalam konteks ini kerap menjadi subjek kontroversi, terutama terkait kewenangan dan implementasinya.
Peran IDI dalam Menentukan Kode Etik Kedokteran
Sebagai organisasi profesi tunggal yang menaungi dokter di Indonesia, IDI memiliki otoritas untuk menyusun, mengembangkan, dan menegakkan KODEKI. Peran ini diwujudkan melalui beberapa aspek:
- Penyusunan dan Revisi KODEKI: IDI bertanggung jawab dalam merumuskan KODEKI, yang berlandaskan pada Sumpah Dokter dan prinsip-prinsip etika kedokteran universal (seperti beneficence, non-maleficence, autonomy, dan justice), serta disesuaikan dengan konteks sosial dan hukum di Indonesia. KODEKI ini secara berkala direvisi untuk mengakomodasi perkembangan ilmu kedokteran, teknologi, dan dinamika masyarakat.
- Sosialisasi dan Edukasi: IDI berperan aktif dalam mensosialisasikan KODEKI kepada seluruh anggotanya. Ini dilakukan melalui berbagai seminar, lokakarya, publikasi, dan materi edukasi lainnya untuk memastikan dokter memahami dan menghayati nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya.
- Penegakan Etika melalui MKEK: Salah satu mekanisme utama penegakan KODEKI adalah melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), sebuah badan otonom di bawah naungan IDI. MKEK bertugas menerima aduan, melakukan penyelidikan, dan memberikan sanksi etik kepada dokter yang terbukti melanggar KODEKI. Sanksi yang diberikan bisa bervariasi, mulai dari teguran hingga rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR).
Kontroversi Seputar KODEKI dan Peran IDI
Meskipun peran IDI sebagai penentu dan penegak KODEKI sangat krusial, beberapa kontroversi sering muncul, antara lain:
- Penerapan Sanksi dan Keputusan MKEK: Keputusan MKEK, terutama yang berujung pada sanksi berat seperti pemberhentian keanggotaan IDI, seringkali menimbulkan perdebatan. Kasus-kasus besar yang melibatkan dokter dengan profil tinggi kerap memicu pro dan kontra di kalangan publik maupun internal profesi. Pertimbangan MKEK dalam menentukan pelanggaran etik dan sanksi yang dijatuhkan kadang dianggap kurang transparan atau terlalu otoriter oleh pihak-pihak tertentu.
- Kewenangan IDI Pasca Undang-Undang Kesehatan Baru: Dengan disahkannya Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023, ada pergeseran kewenangan yang signifikan. Beberapa aspek yang sebelumnya diatur dan dilaksanakan oleh organisasi profesi seperti IDI, kini beralih ke Kementerian Kesehatan. Hal ini termasuk urusan registrasi dan penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) dokter. Meskipun IDI tetap memegang peran dalam pembinaan etika, transisi ini memunculkan pertanyaan tentang batas-batas kewenangan IDI dan bagaimana KODEKI akan tetap efektif ditegakkan dalam kerangka regulasi yang baru.
- Intervensi pada Praktik Kedokteran Inovatif: Terkadang, KODEKI dianggap menghambat inovasi dalam praktik kedokteran, terutama jika ada metode pengobatan baru yang belum teruji secara luas atau dianggap kontroversial oleh sebagian besar komunitas medis. IDI, melalui KODEKI, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa praktik medis yang dilakukan aman, efektif, dan berbasis bukti, namun terkadang hal ini menimbulkan gesekan dengan dokter yang ingin menerapkan terapi inovatif.
- Independensi Profesi vs. Intervensi Negara: Perdebatan tentang seberapa jauh negara dapat mengintervensi urusan internal profesi, termasuk penentuan dan penegakan kode etik, menjadi isu yang sensitif. IDI selalu menekankan pentingnya independensi profesi untuk menjaga standar dan martabat kedokteran, namun pemerintah berpendapat bahwa intervensi diperlukan demi kepentingan publik yang lebih luas.
Kesimpulan
KODEKI adalah fondasi etika bagi praktik kedokteran di Indonesia, dan IDI adalah aktor utama dalam pembentukan dan penegakannya. Meskipun diwarnai berbagai kontroversi, peran IDI dalam menjaga moralitas dan profesionalisme dokter tetap vital. Tantangan di masa depan adalah bagaimana IDI dapat terus menjalankan fungsinya secara efektif dan adaptif, bersinergi dengan regulasi yang ada, dan tetap menjadi rujukan utama dalam menjaga integritas profesi kedokteran demi keselamatan dan kesejahteraan pasien.